Di era Globalisasi ini kemajuan teknologi berkembang sangat cepat, hampir semua yang kita butuhkan semuanya serba instan. Seperti halnya dengan Hiburan media seperti televisi atau semacamnya. Mungkin itu semua akan lebih berguna jika setiap individu dapat dengan baik menggunakanya sebagai sarana hiburan. Namun kenyataanya masih banyak tayangan yang mengandung Pornografi, Kekerasan atau yang lainya. Mungkin semua itu masih jarang kita temukan jika kita menggunakan televisi. Akan tetapi jika menggunakan komputer atau internet kita masih banyak sekali menemukan hal-hal seperti itu. Hal semacam itu lah yang dapat mempengaruhi otak anak-anak, karena pada masa anak-anak atau remaja rasa ingin tahu dan meniru masih sangat tinggi. bayangkan saja jika anak meliahat vidio kekerasan seperti gulat, tinju, smakdown atau sejenisya yang mengadung unsur kekerasan, yang mana itu semua dapat mempengaruhi cara berfikir anak. Kekerasan
yang ditayangkan di TV tak hanya muncul dalam film kartun, film lepas,
serial, dan sinetron. Adegan kekerasan juga tampak pada hampir semua
berita, khususnya berita kriminal. TV swasta di Indonesia terkadang
lebih “kejam” dalam menggambarkan korban kekerasan, misalnya dengan
ceceran darah atau meng-close up korban. Mereka dapat menirukan hal tersebut pada teman sebayanya dan bilamana hal semacam itu berkelajutan pada anak maka jangan heran bila angka kejahatan di indonesia semakin meningkat. Semua itu adalah tugas orang tua bagaimana mereka mendidik dan membatasi anak. Orang tua wajib membatasi anak, seiring berkembangnya umur anak maka orang tua juga berlahan memperkenalkan mereka pada hal-hal yang baru.
Di
Indonesia belum ada penelitian mengenai pengaruh tayangan kekerasan
terhadap perilaku anak. Ini tentu membuat semakin sulit untuk mengatakan
bahwa tayangan televisi berpengaruh terhadap perilaku anak. Sementara,
meski masih simpang siur, peneliti di luar sudah menyimpulkan ada
korelasi – untuk tidak menyebut penyebab – antara tayangan kekerasan
dengan perilaku anak. Sebuah survai pernah dilakukan Christian Science
Monitor (CSM) tahun 1996 terhadap 1.209 orang tua yang memiliki anak
umur 2 – 17 tahun. Terhadap pertanyaan seberapa jauh kekerasan di TV
mempengaruhi anak, 56% responden menjawab amat mempengaruhi. Sisanya,
26% mempengaruhi, 5% cukup mempengaruhi, dan 11% tidak mempengaruhi.
Hasil penelitian Dr. Brandon Centerwall dari Universitas Washington
memperkuat survai itu. Ia mencari hubungan statistik antara meningkatnya
tingkat kejahatan yang berbentuk kekerasan dengan masuknya TV di tiga
negara (Kanada, Amerika, dan Afrika Selatan). Fokus penelitian adalah
orang kulit putih. Hasilnya, di Kanada dan Amerika tingkat pembunuhan di
antara penduduk kulit putih naik hampir 100%. Dalam kurun waktu yang
sama, kepemilikan TV meningkat dengan perbandingan yang sejajar. Di
Afrika Selatan, siaran TV baru diizinkan tahun 1975. Penelitian
Centerwall dari 1975 – 1983 menunjukkan, tingkat pembunuhan di antara
kulit putih meningkat 130%. Padahal antara 1945 – 1974, tingkat
pembunuhan justru menurun (Kompas, 20-3-1995).
Centerwall kemudian menjelaskan, TV tidak langsung berdampak pada
orang-orang dewasa pelaku pembunuhan, tetapi pengaruhnya sedikit demi
sedikit tertanam pada si pelaku sejak mereka masih anak-anak. Dengan
begitu ada tiga tahap kekerasan yang terekam dalam penelitian: awalnya
meningkatnya kekerasan di antara anak-anak, beberapa tahun kemudian
meningkatnya kekerasan di antara remaja, dan pada tahun-tahun akhir
penelitian di mana taraf kejahatan meningkat secara berarti yakni
kejahatan pembunuhan oleh orang dewasa.
Penemuan ini sejalan dengan hasil penelitian Lembaga Kesehatan Mental
Nasional Amerika yang dilakukan dalam skala besar selama sepuluh tahun.
“Kekerasan dalam program televisi menimbulkan perilaku agresif pada anak-anak dan remaja yang menonton program tersebut,”
demikian simpulnya. Sedangkan Ron Solby dari Universitas Harvard secara
terinci menjelaskan, ada empat macam dampak kekerasan dalam televisi
terhadap perkembangan kepribadian anak. Pertama, dampak agresor di mana
sifat jahat dari anak semakin meningkat; kedua, dampak korban di mana
anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain; ketiga,
dampak pemerhati, di sini anak menjadi makin kurang peduli terhadap
kesulitan orang lain; keempat, dampak nafsu dengan meningkatnya
keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi
setiap persoalan.
Nah maka dari itu sebenarnya kita tidak dapat menyalahkan media untuk hal semacam itu, sebenarnya peran orang tualah yang sangat penting. Semua itu dapat orang tua lakukan dengan cara "Budaya Sensor Mandiri", orang tua harus membatasi anak dengan cara memberikan tayangan-tayangan yang lebih mendidik bagi anak. Terkadang orang tua terlalu manja pada anak sehingga sesuatu yang diberikan orang tua kepada anaknya itu terkadang salah umur. Banyak anak berumur 5 Tahun sudah diberikan tablet yang mana anak dengan bebasnya melihat vidio apa saja sesuka mereka. Semua itu banyak cenderung Negatif di bandingkan Positifnya, bahkan tindakan semacam itu yang memicu kekerasan anak kepada teman sebayanya. Orang tua harus cerdas dalam membatasi anak dan tepat memberikan hal yang sesuai dengan usianya.
Dengan dilakukanya "Budaya Sensor Mandiri" sama saja kita berbakti kepada bangsa, yang mana generasi mudalah mereka yang akan memimpin bangsa ini. "Budaya Sensor Mandiri" dapat dilakukan dengan cara membatasi pada tontonan anak dan orang tua harus pintar-pintar memberikan tayangan yang lebih bermanfaat. #AYOOO BUDAYAKAN SENSOR MANDIRI